Menggugah Nurani Dan Ikatan Batin Dalam Memotivasi Siswa Demi Keberhasilan Pembelajaran Kelas

Menggugah Nurani Dan Ikatan Batin Dalam Memotivasi Siswa Demi Keberhasilan Pembelajaran Kelas

Sebelum artikel ini saya tulis panjang lebar, saya hanya menulis apa yang menjadi pengalaman saya dalam mengurus ladang saya yaitu kelas. Mungkin Anda punya pengalaman lain dari cara saya dalam usaha meningkatkan aktifitas kualitas belajar ? Saya persilahkan untuk berbagi dalam kolom komentar.

Sudah menjadi rahasia umum saat ini bahwa kemauan apa lagi kemampuan  belajar siswa saat ini berada dititk nadir. Persentase ini akan semakin menurun jika segala aspek dalam lingkungan belajarnya tidak mendukung kenyamanan baik di sekolah maupun di rumah.  Terbukti dengan kembali dirilisnya ranking PISA (Program For International Student Assesment) untuk skor kemampuan membaca, matematika dan sains yang menurun. Hal ini tak terlepas dari minat siswa untuk belajar. Menggugah minat belajar siswa ternyata tidak semudah membalikkan telapak tangan. Banyak hal yang mempengaruhinya mulai dari dukungan lingkungan keluarga, teman teman terdekatnya, lingkungan sekolah dan tentu adalah pendidik atau gurunya. Bahkan dukungan positif  dalam lingkungan masyarakat sekitar tidak ada gunanya  jika kemauan orang tua,  guru dan siswa sendiri tidak bersinergi apalagi melempar permasalahan satu dengan yang lain.  Masyarakat modern yang cenderung apatis, individualis sampai pada lingkungan yang tidak mendukung seperti kampung narkoba, perjudian, prostitusi juga akan mempengaruhinya.


Pada tulisan ini saya tetap percaya dan fokus kepada subyek itu sendiri yaitu siswa dan  tidak melebar kemana mana. Kenapa ? karena sumber yang akan dibentengi adalah dari dalam diri siswa sendiri untuk lebih menguatkannya. Berbekal pengalaman mendidik lebih dari 10 tahun, saya melihatnya cukup pelik karena masing masing individu mempunyai permasalahan yang sangat kompleks dan berbeda beda penanganannya.  Tapi kejujuran mereka cukup diapresiasi karena merekapun menyadari kalau semangat belajarnya pun menurun dan mereka tidak mampu untuk melawan kemalasannya sendiri. Menciptakan pembelajaran yang menyenangkan oleh guru juga tidak memberi stimulus yang berarti bahkan cenderung untuk lebih suka bermain daripada belajar. Mengajak fokus dalam pembelajaran yang interaktif juga kurang diminati bahkan cenderung tidak mengerti,  malu atau takut untuk mengungkapkan pendapatnya sendiri. Bahkan mengganggu kawannya belajar, lebih senang berbicara diluar konteks yang dipelajari dari pada berdiskusi pembelajaran.

Dari beberapa fakta diatas sejatinya gurulah yang menjadi tulang punggung penggugah semangat belajar itu disekolah. Mengajaknya berbicara empat mata pada setiap individu yang tidak atau belum termotivasi adalah cara paling bijak untuk menelusuri penyebabnya. Cara ini butuh ekstra perjuangan seorang guru karena harus mengurusi puluhan bahkan ratusan siswa mengalami masalah yang sama (tidak termotivasi) namun penanganannya masing masing berbeda beda.  Saya sendiri mencoba melakukannya dari hati ke hati untuk menciptakan ikatan bathin yang kuat agar bisa menggugah nuraninya betapa sangat pentingnya masa depannya. Ternyata cara ini juga tidak sepenuhnya berhasil jika guru hanya setengah hati. Mereka butuh rangkulan dan dukungan  tidak hanya menyalahkan mereka saja. Disinilah naluri seorang guru sedang diuji. Mengajak bicara dengan menggugah sampai muncul nurani siswa yang sebenarnya sangat tidak mudah. Seorang guru bahkan butuh tetesan air matanya untuk menggali seberapa dalam nuraninya yang nantinya akan muncul untuk mengubahnya menjadi motivasi pada dirinya. Tidak cukup sampai disini, kejujuran siswa tidak hanya sekedar pengakuan namun harus kedalam pembuktian. Untuk mengawal itu siswa butuh konsistensi dan tanggung jawab dengan apa yang disampaikan. Kegagalan guru dalam membangun motivasi siswa justru pada tahapan ini, karena disinilah butuh kesabaran, keuletan, sinergi dengan orang tua dan berkomunikasi intensif dengan siswa itu sendiri. Banyak guru yang tidak punya waktu, tidak sabar, bahkan lupa dengan masalah siswa tersebut karena muncul masalah dengan siswa yang lain sehingga penyelesaiannya tidak tuntas. Hal ini akibat dari menumpuknya tugas administratif guru, tugas tambahan guru menggantikan tenaga kependidikan, tugas tambahan guru menggantikan kepala sekolah bahkan tanpa reward sama sekali sehingga tidak fokus mengurus kelas.

Dari pengalaman juga bahwa potensi siswa tidak boleh digeneralisasi, ada banyak sekali potensi siswa yang bisa memicu lahirnya siswa yang termotivasi itu. Mereka juga ingin menunjukkan jati dirinya dengan cara mereka sendiri.  Kuncinya seberapa jauh sekolah bisa memfasilitasi potensi mereka tanpa harus melanggar peraturan sekolah.  Contohnya sampai sekarang juga masih menjadi kontroversi tentang larangan membawa handphone kesekolah. Karena jika siswa diperbolehkan membawa smartphone kesekolah pihak sekolah akan cukup menguras tenaga dan waktu untuk mengawasi penggunaan gadget dari perbuatan negatif ratusan bahkan ribuan siswa. Disisi lain manfaat positifnya juga sangat banyak untuk mendukung potensi dan bakatnya dalam pembelajaran bahkan meningkatkan motivasi belajarnya.

Persaingan di sekolah juga tak kalah penting dalam memicu muncul dan hilangnya motivasi dalam belajar. Siswa yang merasa lebih pintar akan otomatis terus terpacu semangat belajarnya. Namun sayangnya siswa yang seperti ini jumlahnya jauh lebih sedikit di banding siswa yang “kalah” dalam persaingan kepintaran versi mereka. Akibatnya aktifitas keseharian bagi siswa yang kalah di kelasnya selalu pasif. Ternyata pembelajaran 4.0 tidak mengenal kompetisi namun kolaborasi.  Mengadopsinya kedalam pembelajaran juga tidak mudah karena siswa masih terbiasa dengan ranking. Dengan nilai angka kuantitatif. Kawan di kelas adalah pesaing, bukan mitra belajar. Jika disalah pahami pembelajaran kolaborasi bahkan bisa kontraproduktif atau akan menjadi malas belajar karena tidak adanya persaingan belajar. Mengubahnya menjadi positif butuh waktu dan mindsetnya. Karakteristik kelas sangat mempengaruhi cepat atau tidaknya pembelajaran kolaboratif. Jika kelas berisi siswa siswa yang masih banyak yang egois, menang sendiri dan tidak mau berbagi dengan teman lainnya, butuh waktu lebih lama untuk menerapkan pembelajaran kolaboratif. Nilai positif pembelajaran kolaboratif adalah sebenarnya bisa mengetahui kelebihan dan kelemahan masing masing individu secara jujur karena mereka sudah mau berbagi dengan yang lain. Motivasi akan muncul dengan sendirinya karena mereka selalu dalam satu ikatan keluarga (kelas).

Untuk mengukur keberhasilan motivasi yang  saya lakukan cukup sederhana, setelah bel masuk istirahat berbunyi,  saya bergegas untuk masuk kelas dan duduk di meja guru kelas. Tanpa saya memberi perintah apapun saya akan menghitung berapa jumlah siswa yang tertib masuk dan mau fokus belajar dengan membuka bukunya kembali misalnya, berapa siswa yang masih berkeliaran diluar kelas dan masih dikantin. Semakin sedikit mereka untuk melanggar aturan tanpa diingatkan sebelumnya maka progres motivasi belajar menunjukkan tren positif. Bapak/ibu bisa melakukan berbagai cara yang lain untuk mengukur keberhasilan motivasi belajar secara kualitatif. Jika Anda bertanya bagaimana hasil dari cara yang saya lakukan, berhasil atau tidak ? bagi saya cukup berhasil dengan persentase tergantung kemauan, keseriusan, keuletan dan kesediaan waktu kita untuk siswa.

Dari tulisan saya ini, sudah saatnya pemerintah memikirkan betapa motivasi belajar yang muncul dari siswa sendiri sangat penting lebih dari aktifitas pembelajarannya itu sendiri. Jika sebagian besar siswa sudah termotivasi, aktifitas pembelajaran jenis apapun akan mudah dilakukan dengan hasil maksimal. Tugas pemerintah adalah membuat sistem dan memastikan semua  orang atau lembaga yang terlibat dalam proses pembelajaran kelas tersebut  berjalan  efektif dan sesuai fungsinya untuk memacu keberhasilan siswa .  Guru adalah awal adalah akhir dari pembelajaran, sistem reward dan punishment yang sampai saat ini belum jelas , sudah seharusnya diatur seadil adilnya untuk memicu motivasi guru untuk mengurus ladang kelasnya dengan tanaman yang baik dalam mempersiapkan generasi yang unggul dimasa yang akan datang. Guru yang mampu memicu siswanya mendapatkan self motivated seharunya mendapat penghargaan tinggi baik dari pendapatan kinerjanya, demikian juga bagi guru yang tidak mampu harus terus memperbaiki diri dan harus legowo dengan pendapatan lebih rendah dari guru yang bisa mendorong siswanya bersemangat belajar. Banyak pihak yang menganggap lahirnya tunjangan sertifikasi guru tidak berbanding lurus dengan kualitas pembelajaran karena reward ini tidak diukur dari sebuah kinerja. Hanya sekedar sent bukan delivered. Kami menunggu sistem parameter yang akan diciptakan Mas Menteri agar lebih objektif , adil dan mengukur terhadap seharusnya yang diukur.

Maaf, walaupun tulisan ini sedikit berbelok, namun kita tetap berkeinginan inisiatif untuk memutus rantai yang membelenggu siswa karena rendahnya dalam minat belajar. Dan lingkaran rantai itu seharusnya kita mulai dari seorang guru.

Advertisement

Baca juga:

------------- READ NEXT -------------